Perusahaan-perusahaan gajah, sering kali keteteran menghadapi fleksibilitas perusahaan kecil ataupun start up company. Contoh paling terlihat adalah ketika perusahaan Jepang berdarah-darah menghadapi gempuran perusahaan Korea dan Cina. Padahal middle-up down management yang sangat keren di Jepang menjadi model yang bisa mengantarkan Nonaka – Takeuchi menjadi Bapak Knowledge Management dunia. Toh keteteran juga. Apa yang terjadi? Apakah struktur organisasi perusahaan itu harus rigid, ataukah fleksibel?
Inti dari Middle up down management adalah layer tengah menjadi penghubung antara manajer puncak yang pada umumnya berpikir abstrak visionary, jauh ke depan, tidak implementatif, dengan manajer dasar yang cara berpikirnya adalah eksekusi dari hari ke hari. Middle Manager bertugas menerjemahkan ide abstrak menjadi kerangka kerja konseptual sehingga bisa dijabarkan menjadi action plan oleh first line manager.
Penerapan gaya manajemen tergantung pada lingkungannya bisnisnya. Ketika lingkungan bisnis berdarah-darah, persaingan sangat ketat dan butuh kecepatan tinggi untuk pengambilan keputusan, tipe manajemen middle up-down akan mengalami hambatan karena pengambilan keputusan menjadi lebih lambat, jika dibandingkan dengan perusahaan dengan gaya flat.
Lingkungan berdarah-darah ini jika dianalogikan saat ini adalah persaingan di bisnis telco. Menurut saya, Bisnis telco saat ini sampai pada masa bahwa pematangan inovasi berada di pasar, tidak lagi di laboratorium. Produk dilempar ke pasar dan perusahaan belajar dari kesalahan. Hit first and think then. Samsung melempar banyak varian layar pada handsetnya, namun pada akhirnya layar berukuran 5 inch menjadi favorit konsumen.
Perusahaan yang menganut middle up down akan kesulitan jika bersaing dengan perusahaan dengan kecepatan tinggi ini. Keputusan baru diambil setelah middle management menerjemahkan visi top management, kemudian menugaskan first line manager untuk membuat action plan dam membawa action plan tersebut ke top management untuk diapprove. Ketika proses iterasi tiga level itu berlangsung, kompetitor dengan organisasi lebih flat sudah lebih dulu mengambil keputusan.
Middle up-down management cocok jika diterapkan pada lingkungan bisnis yang bisa terprediksi, dengan tingkat persaingan tidak terlalu tinggi dan perkembangan inovasi di bisnis tersebut tidak terlalu tinggi. Di Indonesia, bisnis ketenagalistrikan, jalan tol, infrastruktur merupakan bisnis yang cocok menerapkan gaya manajemen ini. Keputusan bisnis bisa diambil dengan pertimbangan matang setelah melalui proses iterasi ide yang memadai.
Bottom up management cocok diterapkan di bisnis yang membutuhkan kreativitas tinggi. Event organizer, periklanan, broadcast merupakan bisnis yang lebih cocok menerapkan bottom up management. Bisnis ini tidak memiliki risiko tinggi untuk mengeksekusi banyak ide namun memiliki potensi besar jika produk tersebut booming. Dengan tipikal bisnis seperti itu, maka perusahaan bisa lebih leluasa mengeksekusi ide dari layer bawah yang terkadang memiliki ide-ide menarik/ out of the box.
Jadi, lihat dulu proses bisnis dan peta persaingannya, baru tentukan struktur mana yang sesuai dengan kita…