Manajemen Krisis: Noda ‘Pasti PAS’ dari Ciputat

sumber foto: detik (dot) com

sumber foto: detik (dot) com

Terbongkarnya kecurangan SPBU Ciputat menodai kampanye maraton “Pasti Pas” Pertamina. Praktik culas itu ternyata telah berjalan lebih dari setahun dan disinyalir kemungkinan terjadi di tempat lain.

Kasus ini sangat merugikan reputasi yang telah dibangun bertahun-tahun. Mari kita flashback beberapa tahun ke belakang ketika stempel buruk melekat akibat banyaknya pom bensin yang tidak standar. Akibatnya, citra yang melekat ketika itu adalah pom bensin mengurangi timbangan. Maka milyaran rupiah digelontorkan dengan menggelar kampanye “Pasti Pas”. Kampanye itu kini dalam ancaman.

Untuk itu perlu disiapkan manajemen krisis. Sambil berbuka puasa, mari kita bedah apa yang terjadi.

Slogannya legendaris. Ketika kita sodorkan uang seratus ribu rupiah misalnya, petugas pun bilang, “Mulai dari nol ya.” Begitu selesai, ia pun berkata, “Pas seratus ribu ya, Pak.”

Tak hanya itu, ribuan pom bensin di jaringannya pun disertifikasi dengan standar “Pasti Pas”. Tahun depan, Pom Bensin yang tidak bisa melewati standar tersebut akan dilikuidasi.

Hasilnya sangat signifikan. Citra Pertamina terdongkrak. Orang kembali merasa nyaman membeli bahan bakar di SPBU plat merah itu. Dua kalimat tersebut sungguh menenteramkan. Dengan kata-kata tersebut, orang terbius dan menjadi percaya bahwa membeli bahan bakar di Pom Bensin Pertamina pasti sesuai takaran.

Tiba-tiba bibit badai itu datang. Modus kecurangan baru tidak terdeteksi selama lebih dari setahun. Dan menusuk pada bagian yang vital, yaitu kepercayaan konsumen.

Kalau dulu sebelum kampanye itu, kecurangan yang paling terasa adalah kita tidak tahu apakah meterannya mulai dari nol atau tidak, tapi yang sekarang ini bahkan sampai konsumen pulang pun tidak tahu apakah timbangannya berkurang atau tidak. Yang dirasakan mungkin hanya jarak tempuhnya dirasakan kurang, dibanding biasanya. Sekali lagi, yang dirasakan, bukan yang dibuktikan.

Ketika terjadi satu kali, luka lama mulai terbuka. Ini adalah gejala yang harus ditanggapi segera, secara massif dan proaktif. Tidak bisa hanya reaktif mendukung pihak kepolisian jika menemukan kasus lain.

Regester dan Larkin dalam buku terbitan tahun 2005, Risk Issues and Crisis Management,  telah mengingatkan bahwa kasus semacam ini berkali-kali terjadi. Kegagalan perusahaan dalam mengantisipasi masalah ini terjadi karena perusahaan mereaksi kejadian secara rasional dalam pengambilan keputusannya, alias terlalu fokus pada aspek teknis dan melupakan aspek persepsi.

Padahal dalam banyak kasus, faktor emosional menjadi faktor besar yang memicu perubahan.

Pada kasus-kasus tersebut, media memegang peranan penting. Karena tema seksi akan mendorong kecenderungan media menjadikannya sebagai kampanye, lebih dari sekedar melaporkan. Nah sekarang, tambahkan media sosial ke dalamnya. Berapa banyak merk tumbang gara-gara viral di media sosial ini, dan butuh biaya besar untuk me-recovery-nya.

Kampanye berarti terjadi pemberitaan buruk itu yang akan terus-menerus menerpa organisasi, dalam jangka waktu lama. Antisipasi yang buruk terhadap kampanye tersebut akan membawa organisasi ke jurang kesengsaraan.

Di sini berlaku precautionary principle (prinsip kehati-hatian). Asal munculnya prinsip ini adalah pada kasus-kasus lingkungan di mana prinsip kehati-hatian harus diterapkan ketika ada unsur ketidakpastian yang harus diambil tindakan untuk menghindarkan bencana.

Prinsip ini bisa diterapkan dalam dunia public relations karena dalam berbagai aspek, banyak ketidakpastian ketika terjadi interaksi antarmanusia Dan lagi-lagi, faktor emosi memberikan dampak besar terhadap hasil akhir.

Publik mendapatkan informasi yang tidak seimbang antara hal buruk dan hal baik tentang kasus tersebut. Salah satu jalan utama yang mesti ditempuh adalah segera melakukan komunikasi intensif dan terbuka kepada publik.

Setiap tahapan dalam upaya memadamkan kasus tersebut, ataupun metode sistematis yang bisa mengeliminasi risiko terjadinya kejadian tersebut harus disampaikan kepada publik. Sekali lagi yang dirasakan masyarakat ini bukan tentang teknologi semata, tapi pada kepercayaan yang terluka.

Maka yang perlu dilakukan adalah, jika organisasi memiliki teknologi yang mampu menangkal risiko tersebut, yakinkan kepada masyarakat.

Untuk memulihkannya ya tidak ada jalan lain kecuali memberikan perawatan yang diyakini bisa mengobati luka tersebut, sehingga kepercayaannya bisa pulih seperti sebelum kejadian itu terjadi.

Kasus pertama adalah membuka luka, kasus kedua memperbesar luka dan menyulitkan penyembuhan, dan kasus-kasus berikutnya berarti badai dan bencana.

Alangkah baiknya jika precautionary principle ini diterapkan. Jangan sampai pihak berwajib yang menemukan kasus-kasus berikutnya itu. Karena jika pihak lain yang menemukan, itu ibarat mengoyak luka, dan akan jauh lebih lama sembuhnya.

Menurut Northcote Parkinson, kekosongan informasi karena kegagalan komunikasi akan segera diisi dengan rumor, gosip, dan racun.

Masyarakat biasa tidak peduli dengan detail-detail teknis. Yang mereka butuhkan adalah keyakinan bahwa organisasi melakukan hal serius untuk menangani hal tersebut. Jadi, inilah saatnya memanfaatkan persahabatan dengan media, baik media massa maupun media sosial. Mereka adalah para pihak yang bisa mengarahkan opini masyarakat umum.

Tentu organisasi harus mempertimbangkan media utama yang dijadikan partner. Dalam kondisi krisis, media televisi dengan kekuatan visualnya, dan media sosial dengan kecepatan dan jangkauannya bisa dipertimbangkan menjadi sasaran utama kampanye organisasi.

Regester dan Larkin memberikan kunci sukses dalam menangani krisis adalah adanya sumber informasi tunggal tentang apa yang terjadi dan apa yang telah dilakukan terhadapnya. Sumber ini harus bisa dengan mudah dijangkau kapan saja, di mana saja.

Pemberitaan mengenai kasus mesti secara perlahan digeser ke pemberitaan mengenai upaya mengatasinya. Jika organisasi gagal menangani opini ini, maka siap-siaplah menghadapi badai yang lebih besar.

Regester dan Larkin berkata, “Perception is the Reality.”

Yang dibayangkan khalayak, cepat atau lambat akan menjadi kenyataan.

Langganan dan Download Ebook tentang Motivasi dan Human Capital-- GRATIS


Warning: count(): Parameter must be an array or an object that implements Countable in /home/humancap/public_html/wp-includes/class-wp-comment-query.php on line 405

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *