Diversifikasi Bisnis: Mengapa Perusahaan Legendaris Bisa Tumbang

Diversifikasi bisnis

kredit foto: kompas.com

Belum lama Uber meresmikan Uber-moto, sebuah layanan ojek modern di Jakarta, menyusul Grab yang sudah melakukan diversifikasi bisnis dengan cara menambah moda transportasi layanannya. Sementara Go-jek memperluas usahanya dengan cara berbeda, yaitu dengan berbagai macam layanan, dari tukang antar orang, antar, barang, sampai antar tukang pijat. Di sisi lain, usaha-usaha konvensional masih termangu, gagap, dan seolah tidak siap menghadapi fleksibilitas perusahaan-perusahaan baru berbasis teknologi tersebut. Apa yang terjadi? 

Organisasi post-modern didorong oleh perubahan lingkungan yang menuntut kecepatan eksekusi, kompleksitas masalah yang dihadapi dan keterbatasan sumberdaya. Karena itu, organisasi pada masa postmodern dituntut untuk lebih lincah, lebih cepat dalam mengambil keputusan, dan bisa memberikan pengalaman yang positif bagi customernya.

Organisasi postmodern berfokus pada customer. Sifat inilah yang menyebabkan organisasi harus fleksibel, dan dengan cepat bisa berubah untuk merespons kebutuhan pelanggannya.

Dengan tuntutan kecepatan, maka organisasi postmodern harus memiliki karyawan yang berkompetensi tinggi dan senantiasa diasah agar bisa selalu mengikuti permintaan customer. Layanan yang tidak memuaskan akan customer meninggalkan organisasi dan beralih ke organisasi lain yang mampu memuaskan kebutuhannya. Maka, organisasi postmodern akan menjadikan pegawainya sebagai aset, dan pengembangan terhadap pegawai dianggap sebagai investasi. Dalam pengelolaan keuangan organisasi, suatu investasi dituntut untuk bisa dikembalikan dengan hasil yang lebih besar. Return on Investment (RoI) menjadi salah satu parameter mengukur kesehatan organisasi. Dengan menganggap pegawai sebagai investasi, maka pegawai dituntut untuk memberikan tingkat pengembalian yang lebih tinggi kepada organisasi dibandingkan investasi yang telah ditanamkan organisasi. Jika tingkat pengembaliannya dianggap tidak sepadan, maka organisasi akan mengalihkan investasinya ke yang lain.

Horison Investasi bisa dalam jangka pendek ataupun jangka panjang. Namun organisasi postmodern didorong oleh motif sustainability/ keberlanjutan usaha. Karena itu, time horison bagi organisasi postmodern adalah long term profit goal. Bisa jadi dalam jangka pendek investasi organisasi tidak memberikan profit, namun organisasi menilai bahwa investasi tersebut dalam jangka panjang bisa memberikan keuntungan yang berlipat bagi organisasi. Hal ini tergantung dari seberapa tajam organisasi mampu meramal tanda-tanda yang muncul di sekitarnya dan diproyeksi dalam perencanaan beberapa tahun ke depan. Inilah yang menyebabkan perusahaan-perusahaan teknologi tersebut tidak sungkan membakar uang di depan untuk mendapatkan brand value. Kekuatan merk akan menjadi modal jangka panjang perusahaan.

Alur pikir inilah yang menyebabkan organisasi postmodern tidak harus memiliki penjelasan pragmatis ketika melakukan usaha-usahanya. Penjelasan pragmatis dalam hal ini berarti hasil jangka pendek, atau sebatas transaksi 1 tahap. Organisasi Postmodern memiliki horison pandang yang jauh lebih luas, sehingga transaksi yang dilakukannya pun tidak cuma transaksi 1 tahap (stimulus = respons), melainkan transaksi yang memiliki rantai panjang sebelum tujuan akhir tercapai.

Jadi, bagi perusahaan-perusahaan pragmatis, siap-siap tumbang jika tidak mampu berpikir 3 – 4 langkah ke depan. Dan ini membutuhkan fleksibilitas …

 

 

Langganan dan Download Ebook tentang Motivasi dan Human Capital-- GRATIS


Warning: count(): Parameter must be an array or an object that implements Countable in /home/humancap/public_html/wp-includes/class-wp-comment-query.php on line 405

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *